Pagi ini saya mendapat pesan singkat dari seorang teman yang merupakan alumni sebuah kampus di Jakarta. Dia bercerita perihal temannya yang berpuasa satu minggu berturut-turut menjelang hari maulid Nabi Muhammad Saw. Dia lantas bertanya, apakah ini boleh dilakukan?
Sependek pengetahuan saya, saya tidak pernah menemukan hadis yang khusus menganjurkan berpuasa satu minggu berturut-turut menjelang maulid Nabi Saw, atau hadis yang menganjurkan memperbanyak puasa khusus pada bulan tersebut. Yang ada hanyalah hadis riwayat Imam Muslim berikut:
Dari Abu Qatadah al-Anshori Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas Beliau menjawab:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Artinya: “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR Muslim Nomor 1162).
Baca juga: Keistimewaan Khadijah Al-Kubra yang Membuat ‘A’ishah Ra. Cemburu Berat
Hadis ini lah yang dijadikan dasar berpuasa sunnah hari senin. Kemudian lebih lanjut, hadis ini pula lah salah satu yang menjadi dasar kebolehan merayakan hari Maulid Nabi Saw. Menurut para ulama, sunnah berpuasa pada hari Senin dan tradisi perayaan Maulid Nabi Saw adalah bentuk rasa suka cita dan syukur kita atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Kyai Rifqi Muhammad Fatkhi, Ketua Jurusan Ilmu Hadis UIN Jakarta, dalam kesempatan Ngaji Tafsir Jalalain Online menuturkan “Kita ini Allah beri nikmat besar pada tiga masa. Yaitu nikmat sebelum kita lahir, nikmat saat kita hidup di dunia, dan nikmat ketika sudah meninggal. Nikmat sebelum kita lahir adalah nikmat dijadikannya Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul kita. Yang membimbing kita pada cahaya Islam.”
Sebab itulah, sebagai umat Muslim seyogianya kita bersuka cita dan bersyukur atas hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Adapun perihal bentuk syukur dan perayaannya adalah terserah masing-masing. Sebab tidak ada teks khusus yang menerangkan hal ini. Perayaan maulid dengan memperbanyak shalawat, pembacaan maulid diba’, barzanji dan lain sebagainya tentu saja dibolehkan. Hal-hal seperti ini menurut jumhur ulama adalah dikatakan sebagai bid’ah hasanah (tradisi baru yang baik), dan mengandung pahala sebab berisi sanjungan kepada nama kekasih tercinta, Muhammad Saw, sebagaimana Allah juga memerintahkan kita untuk banyak-banyak bershalawat kepadanya.
Baca juga: Agama yang Harus Menghormati Budaya, atau Sebaliknya?
Lalu bagaimana dengan amalan berpuasa tujuh hari berturut-turut menjelang Maulid Nabi? Berpuasa tentu adalah hal yang baik, bahkan dikatakan bahwa puasa itu satu-satunya ibadah yang urusannya langsung kepada Allah Swt semata. Namun rasanya saya melihat ini sebagai sesuatu yang baru, dalam artian saya tidak pernah mendengar perihal ini sebelumnya baik dari guru-guru di pesantren, dosen-dosen di kampus, maupun dari masyarakat sekitar saya.
Berpuasa adalah baik, namun seyogianya dalam melakukan ibadah apapun kita harus mempunyai dasarnya, seperti dalil nash (teks al-Qur’an atau hadis), atau ajaran para guru dan ulama. Jika kita tidak menemukan dasarnya pada al-Qur’an atau hadis, namun kita diajarkan oleh seorang guru (ulama), maka insyallah amalan tersebut tersambung atau memiliki sanad hingga ulama-ulama terdahulu, atau bahkan tersambung hingga para sahabat Nabi. Jika memang seperti ini, maka berarti kita sudah melakukan sunnah sahabat Nabi Saw, dan ini tentu diperbolehkan, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin al mahdiyin” (HR. Ibnu Majah).
Namun jika kita tidak dapat memastikan sumber dan sanad (silsilah) amalannya, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan. Sebab toh tidak ada teks yang mewajibkannya. Perihal itu sunnah atau tidak, maka sekali lagi kita harus dapat menemukan sumbernya dari mana dan siapa. Kyai Rifqi Muhammad Fatkhi di lain kesempatan pernah menyampaikan, “kita ini kalo gak tau sumber suatu amalan ya gak usah mengamalkan, gak usah perbanyak puasa, perbanyak zikir, kalo gurumu tidak mengajarkan ya ga usah dilakukan, lakukan saja yang wajib-wajib dan yang memang jelas sunnah. Kamu boleh puasa dan zikir banyak-banyak asalkan gurumu mengajarkanmu, kalau gurumu tidak mengajarkanmu tapi kamu tetap melakukannya berarti ibadahmu hanya karena nafsu.” Dari sini dapat dipahami bahwa segala amalan itu harus memiliki dasarnya, baik dari teks al-Quran dan hadis, maupun ijazah dari seorang ulama, agar amalan kita memiliki sanad yang jelas dan tidak hanya berdasar pada nafsu belaka.
Wallahu a’lam.
Related posts
Zamroni dan Kiprah Pergerakan Mahasiswa
Nama Zamroni tidak asing lagi bagi para aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Nama beliau selalu diperkenalkan saat perekrutan anggota PMII atau MAPABA, namun apakah kader PMII benar-benar mengenal siapa beliau. Saya sering menemui teman-teman Saya sesama PMII hanya sebatas mengenal nama beliau saja dan…
Soeharto, Orde Baru dan Gaya Kepemimpinan
Siapa yang tidak mengenal Soeharto, sosoknya begitu kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia, ditakuti pada masanya. Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia kedua, namanya tidak asing lagi di telinga kita dengan gambarnya yang melambaikan tangan dan menyapa “Piye Kabare Enakan Jamanku Toh”. Soeharto laksana seorang raja di…
Gus Dur Sang Perekat Toleransi di Indonesia
K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, siapa yang tidak mengenal beliau, cucu dari ulama pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, K. H. Hasyim Asy’ari. Gus Dur lahir dari pasangan K. H. Wahid Hasyim dan Nyai Haji Solichah, Kakek dari jalur ibu adalah K.H. Bisri…
Keistimewaan Khadijah Al-Kubra yang Membuat ‘A’ishah Ra. Cemburu Berat
Para jumhur ulama mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menikahi ‘A’ishah Ra. saat ia masih usia belia, yakni usia tujuh tahun. Namun keduanya baru mulai menjalani biduk rumah tangga bersama saat ‘A’ishah Ra. telah menginjak usia sembilan tahun, beberapa bulan setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah. Pernikahan…