Misbach Yusa Biran dikenal sebagai penulis skenario dan juga sastrawan, yaitu menulis novel dan juga cerita pendek, diantaranya memuat soal cerita kehidupan di Pasar Senen, Jakarta pada tahun 1950-an. Dari sana mengantarkan seorang Misbach Yusa Biran menjadi seniman di Pasar Senen dengan karir yang cukup cemerlang. Pria kelahiran Rangkasbitung, Banten 11 September 1933 ini juga aktif terlibat dalam beberapa surat kabar dan majalah. Mulai dari Minggu Abadi (1957-1959), majalah film Purnama (1961-1963), redaktur lembaga kebudayaan Duta Masyarakat, redaktur Abad Muslimin dan redaktur Mimbar Kita.
Selain keaktifan di surat kabar dan majalah, sebagai seorang sastrawan Misbach pun tak luput dari karya-karya sastra cemerlangnya, diantaranya ia menulis Keajaiban di Pasar Senen, Oh, Film (1973) yang berupa cerpen. Adapula Sejarah Film 1900-1950, Bikin Film di Jawa (1993) dan, autobiografinya, Kenang-kenangan Orang Bandel (2008). Juga naskah yang tersohor berjudul Bung Besar, dan mendapatkan hadiah penulisan naskah dram oleh Depdikbud RI.
Misbach juga aktif dalam dunia perfilman, pria ini berkecimpung dalam bidang perfilmn sejak tahun 1954 ketika IA masuk studio PERFINI. Misbach juga tercatat sudah dua kali menjadi asisten sutradara Usmar Ismail untuk Film Lagi-lagi Krisis (1955), dan Tamu Agung (1956). Melalui pengalaman tersebut, kemudian Misbach berkecimpung sendiri menjadi seorang penulis skenario dan juga sutradara. Beberapa film pernah Ia sutradarai, diantaranya Pesta Musik La Bana (1959), Holiday in Bali (1962), Panggilan Nabi Ibrahim (1964), Di Balik Cahaya Gemerlap (1966), Menyusuri Jejak Berdarah (1967), Oprasi X (1968), Honey Money and Jakarta (1970).
Baca juga: Mengenang Sapardi dan Penantian pada Puisi “Hujan Bulan Juni”
Misbach, dalam dunia perfilman bukan hanya pada pengalaman sutradara saja, melainkan Ia aktif dalam penulisan skenario film, tercatat ada 31 judul yang pernah Ia tulis, ada yang Ia sutradari sendiri dan ada juga yang di sutradari orang lain. Yang Ia sutradarai sendiri antara lain seperti Saodah (1956), Istana yang Hilang (1960), Mendung Senja Hari (1960), Bing Slamet Merantau (1962), Bintang Kecil (1963), Macan Kemayoran (1965), Dan Bunga-bunga Berguguran (1970), Samiun dan Dasima (1970), Bandung Lautan Api (1974), dan Fatahillah (1997).
Melalui aktivitas Misbach dalam dunia perfilmn, mengantarkannya Ia bersama temannya Djamaludin Malik dan Asrul Sani ke dalam Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang berupakan salah satu lembaga di bawah NU yang mengurusi soal seni dan budaya. Salah satu keterlibatan Misbach dalam kerja-kerja Lesbumi adalah pembuatan film Tauhid (1965), yang disutradari oleh Asrul Sani dan Djamaludin Malik sebagai produsernya. Melalui film yang mengambil setting di Mekah tersebut, Misbach menjadi asisten sutradara.
Hingga pada akhirnya Misbach meninggalkan dunia perfilmn yang penuh dengan gemerlap, karena banyaknya produser yang menginginkan tema film yang bertemakan kekerasan dan pornografi, sementara Misbach sangat menjauhi jenis film seperti itu. Misbach atau yang biasa mendapat julukan sebagai “Seniman Senen” yang juga suami dari pemain film terkenal Nani Wijaya itu meninggal pada 11 April 2012.
Baca juga: Selamat Jalan Didi Kempot, Musisi Jawa yang Konsisten dalam Berkarya
Related posts
Zamroni dan Kiprah Pergerakan Mahasiswa
Nama Zamroni tidak asing lagi bagi para aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Nama beliau selalu diperkenalkan saat perekrutan anggota PMII atau MAPABA, namun apakah kader PMII benar-benar mengenal siapa beliau. Saya sering menemui teman-teman Saya sesama PMII hanya sebatas mengenal nama beliau saja dan…
Soeharto, Orde Baru dan Gaya Kepemimpinan
Siapa yang tidak mengenal Soeharto, sosoknya begitu kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia, ditakuti pada masanya. Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia kedua, namanya tidak asing lagi di telinga kita dengan gambarnya yang melambaikan tangan dan menyapa “Piye Kabare Enakan Jamanku Toh”. Soeharto laksana seorang raja di…
Gus Dur Sang Perekat Toleransi di Indonesia
K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, siapa yang tidak mengenal beliau, cucu dari ulama pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, K. H. Hasyim Asy’ari. Gus Dur lahir dari pasangan K. H. Wahid Hasyim dan Nyai Haji Solichah, Kakek dari jalur ibu adalah K.H. Bisri…
Keistimewaan Khadijah Al-Kubra yang Membuat ‘A’ishah Ra. Cemburu Berat
Para jumhur ulama mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menikahi ‘A’ishah Ra. saat ia masih usia belia, yakni usia tujuh tahun. Namun keduanya baru mulai menjalani biduk rumah tangga bersama saat ‘A’ishah Ra. telah menginjak usia sembilan tahun, beberapa bulan setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah. Pernikahan…